Abstract Food becomes meaningful when viewed from a cultural perspective and how it interacts with its social environment. In an anthropological perspective, food has a more fundamental meaning than biological needs because food is a cultural symbol that reflects the identity, traditions and values of society. As stated by Audrey Richards in her book Hunger and Work in a Savage Society (1932), nutrition is a biological process in a culture that is regulated far more fundamentally than sex (cf. Bates (1958) and Fox, 1994). Many of the existing studies focus on the issue of food habits as a form of patterned behavior that is tied to culture, which includes beliefs and dietary restrictions that live in the community. Often in rural areas, food is at the center of social and ritual activities that connect individuals to their communities and the natural environment. With traditional agricultural practices, as well as distribution and consumption systems that differ from region to region, food is a reflection of how a group's relationship with nature is unique. This paper examines how the new innovation of hydroponics will change people's views, and how people will adjust to new technologies in agriculture. Hydroponics as a solution to the complexity of environmental problems in the agricultural community to create sustainable food security. |
Keyword: food, change, food security, hydroponics |
Article Info Received: Accepted: Published: |
Pendahuluan
Sektor pertanian merupakan sumber daya yang menjanjikan bagi kelangsungan hidup masyarakat secara luas. Namun, di sisi lain masih banyak desa yang mengalami tantangan terutama dalam hal ketahanan pangan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Keterbatasan lahan subur, perubahan iklim, permasalahan air bersih, dan akses terhadap teknologi modern seringkali menjadi penghambat dalam mencapai produktivitas yang optimal. Kondisi seperti ini mendorong perlunya inovasi dalam sistem pertanian untuk meningkatkan hasil panen dan keberlanjutan terhadap produksi pangan. Selain itu permasalahan lain juga menjadi pemicu gagasan mengenai inovasi hidroponik di desa karena peningkatan limbah anorganik menjadi salah satu isu serius di berbagai wilayah terutama di desa. Dalam studi kasus yang terjadi di Desa Bulaksari, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan, limbah anorganik terkhusus limbah galon Le Mineral sulit untuk diolah kembali ditambah dengan limbah tersebut tidak memiliki daya jual sehingga menjadi barang tidak bernilai, keterbatasan inovasi dalam mengolah limbah tersebut membuat permasalahan baru di lingkungan setempat. Kebiasaan masyarakat pada sistem pembuangan dengan cara dibakar menjadi permasalahan tersendiri terhadap pencemaran tanah, air, dan udara yang nanti pada gilirannya akan berdampak negatif pada kesehatan manusia dan ekosistem.
Dalam perspektif antropologi, masyarakat desa memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan sekitarnya. Budaya, tradisi, praktik pertanian tradisional seringkali mencerminkan kearifan lokal yang menghormati dan menjaga alam. Namun, percepatan modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan signifikan termasuk pada peningkatan penggunaan barang-barang anorganik serta timbulnya penumpukkan limbah yang sulit untuk dikelola maupun di daur ulang. Selain itu studi antropologi mengenai ketahanan pangan di desa juga mengungkap bahwa keberlanjutan sistem pangan lokal sering kali bergantung pada pengetahuan tradisional dan praktik yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Sehingga penting bagi kita untuk mencari solusi yang mengintegrasikan teknologi modern dengan nilai-nilai budaya lokal.
Berangkat dari permasalahan tersebut, pembuatan hidroponik dengan memanfaatkan limbah anorganik merupakan salah satu solusi inovatif dan menjanjikan yang dapat menjawab tantangan tersebut. Hidroponik merupakan metode penanaman tanpa tanah dengan menggunakan larutan nutrisi yang dapat dirancang dan dikontrol dengan memanfaatkan limbah anorganik sebagai media tanamnya. Yang menjadikan hidroponik ini dapat sesuai sebagai permasalahan yang ada di desa adalah:
- Pengurangan Limbah Anorganik
Yang menjadi dasar pembuatan hidroponik di Desa Bulaksari, Pekalongan, ini adalah penumpukkan limbah anorganik khususnya pada limbah galon Le Minerale. Sehingga dengan adanya pemanfaatan ini sebagai bahan dasar sistem hidroponik akan mengurangi jumlah limbah yang mencemari lingkungan.
- Efisiensi Penggunaan Lahan
Hidroponik merupakan solusi untuk budidaya tanaman dengan keterbatasan lahan, bahkan ketika di wilayah yang tanahnya tidak subur atau sudah terkontaminasi. Oleh karena itu, hal ini bisa membantu masyarakat desa untuk memiliki pertanian di lahan terbatas seperti halaman rumah.
- Peningkatan Ketahanan Pangan
Sistem hidroponik sangat memungkinkan untuk masyarakat memproduksi pangan dengan lebih efisien dan berkelanjutan. Hal ini merupakan suatu yang penting bagi masyarakat dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan dan gizi karena dapat menghasilkan tanaman dengan produktivitas yang tinggi disertai kualitas yang baik.
- Pemberdayaan Ekonomi
Program penanaman dengan sistem hidroponik berbasis limbah anorganik dapat membuka peluang usaha dan lapangan kerja baru bagi masyarakat desa. Ditambah, dalam program yang dilakukan oleh komunitas lokal warga Desa Bulaksari ini juga mengefisiensikan sisa tempat penanamannya dengan budidaya lele. Hal ini bertujuan dengan menargetkan agar generasi muda penerus komunitas lokal yang tergabung dalam karang taruna dapat terlibat dalam proses inovasi ini untuk meningkatkan keterampilan dan produktivitas mereka dalam bidang teknologi pertanian berkelanjutan.
Dengan latar belakang tersebut, program pembuatan hidroponik sebagai pemanfaatan limbah anorganik tidak hanya menjawab kompleksitas permasalahan lingkungan, tapi juga efektif dalam memberdayakan masyarakat desa terkhusus pada komunitas lokal yang terlibat dalam mengelola sumber daya secara efektif dan berkelanjutan yang inovatif untuk menuju kesejahteraan yang lebih baik. Melalui pendekatan antropologis, memastikan program ini menjadi solusi yang dapat diterapkan sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal, sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.
Untuk memperkuat penelitian ini, teori ekologi budaya diterapkan sebagai pendekatannya. Teori Ekologi Budaya ini dikemukakan oleh Julian Steward, di dalamnya menjelaskan bagaimana kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan bagaimana budaya serta teknologi mempengaruhi adaptasi ini. Dalam konteks hidroponik sebagai ketahanan pangan masyarakat, teori ini membantu dalam memahami bagaimana masyarakat desa mengadopsi teknologi hidroponik sebagai respon atas keterbatasan lahan dan penumpukan limbah anorganik, serta bagaimana pengetahuan tradisional dan teknologi modern dapat diintegrasikan untuk meningkatkan produksi pangan. Dengan hal tersebut, penelitian ini dapat menjabarkan bagaimana keuntungan dari hidroponik sebagai penawaran solusi atas kompleksitas permasalahan lingkungan yang terjadi dan membantu memberdayakan komunitas lokal Desa Bulaksari lebih produktif melalui program yang berkelanjutan.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus berupa program yang dirancang sebagai bentuk pemberdayaan komunitas lokal yaitu karang taruna serta memahami bagaimana dampaknya terhadap ketahanan pangan lokal. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang konteks sosial dan budaya yang mempengaruhi penyesuaian hidroponik di Desa Bulaksari, Kabupaten Pekalongan. Penelitian ini dilakukan selama keberlangsungan kegiatan TIM II Kuliah Kerja Nyata Universitas Diponegoro diterjunkan, dan berlokasi di Desa Bulaksari, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan, dengan tujuan sebagai pemberdayaan sasarannya yaitu komunitas lokal terkhusus pada karang taruna setempat. Data ini akan dihimpun menggunakan teknik observasi partisipatif yang melibatkan peneliti untuk ikut ke dalam kegiatan praktik pembuatan hidroponik bersama karang taruna. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat memahami konteks sosial dan budaya yang melingkupi adaptasi teknologi ini terhadap komunitas lokal sebagai sasarannya. Selain itu, dokumentasi berupa foto, video, dan catatan juga diperlukan sebagai data pendukung dari hasil observasi yang telah dilakukan. Tentu tujuan dari pelaksanaan program dan melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam mengenai bagaimana inovasi pertanian seperti hidroponik dapat diintegrasikan ke dalam praktik pertanian lokal dan dapat meningkatkan ketahanan pangan di Desa Bulaksari, Kabupaten Pekalongan.
Hasil dan Pembahasan
Desa Bulaksari, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan secara geografis wilayahnya didominasi oleh persawahan. Oleh karena itu, mereka dikenal dengan masyarakatnya yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan usaha konveksi rumahan. Dengan wilayah yang terbagi menjadi 4 pedukuhan besar yang terdiri dari Bulakuncung, Babadan, Condongsari, dan Kemonggoan, kemudian dikembangkan menjadi 7 dusun yaitu Dusun Babadan Utara, Dusun Babadan Tengah, Dusun Babadan Selatan, Dusun Condongsari, Dusun Kemonggoan Utara, Dusun Kemonggoan Selatan, dan Dusun Bulakuncung. Melalui pendekatan etnografis, observasi mengenai sistem pertanian dilakukan. Pada praktiknya masyarakat sudah di tahap peralihan menggunakan teknologi yang lebih modern sebagai alat bantu proses pemanenan, seperti penggunaan mesin combine, traktor, hingga mesin penggiling padi sudah diterapkan. Pengolahan pertanian merupakan cara yang efektif bagi masyarakat dengan tempat tinggal menetap (tidak nomaden) untuk bertahan hidup. Namun, pengolahan pertanian ini menimbulkan kesenggangan waktu yang terjadi antara musim panen dan musim tanam. Hal inilah yang menjadi salah satu permasalahan bagi masyarakat dengan mata pencaharian petani, mereka perlu mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan mereka di masa senggang tersebut. Disinilah penawaran metode penanaman hidroponik muncul sebagai salah satu solusi yang dapat menjawab kompleksitas permasalahan tersebut.
Hidroponik
Gambar 1. sample percontohan praktik hidroponik.
Secara etimologis, hidroponik berasal dari bahasa Yunani yaitu hydro yang artinya air dan ponos yang artinya daya. Dalam istilah lain, hidroponik juga dikenal dengan soilless culture yang artinya budidaya tanpa tanah atau menggunakan media air. Jadi tanaman hidroponik adalah tanaman yang ditanam dengan pemanfaatan air dan tanpa penggunaan tanah sebagai media tanam (Masduki, 2018). Populernya, hidroponik ini merupakan istilah untuk menjelaskan cara atau berbagai metode penanaman tanpa menggunakan media tanah sebagai tempat tumbuhnya tanaman atau biasa disebut dengan “bercocok tanam tanpa tanah” termasuk menggunakan pot atau bahan porous (penyarin) lainnya seperti kerikil, pasir, arang sekam, maupun pecahan genting sebagai media tanamnya (Nurwahyuni, 2012).
Penerapan program hidroponik terhadap komunitas lokal di Desa Bulaksari, Pekalongan tentu bukan hanya sekadar wacana belaka. Dibaliknya terdapat target dan sasaran yang ingin dicapai, beberapa diantaranya adalah:
- Pemberdayaan Komunitas Lokal (Karang Taruna)
Melalui program “Tingkatkan Keberlanjutan: Inovasi Pengolahan Limbah Anorganik untuk Pertanian Hidroponik", diharapkan adanya keterlibatan karang taruna Desa Bulaksari untuk memperkuat ikatan sosial dan kerjasama antar anggotanya. Selain itu, dengan mengembangkan sistem hidroponik ini karang taruna dapat lebih mandiri dan tidak bergantung pada sumber daya eksternal. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan mengenai teknologi pertanian modern di tengah masyarakat bermata pencaharian yang bergantung pada pertanian tradisional juga akan didapatkan karena didalamnya mereka akan belajar mengenai keberlanjutan, pengelolaan sumber daya air, hingga praktik pertanian ramah lingkungan.
- Ketahanan Pangan Lokal
Seperti yang sudah disinggung pada penjelasan sebelumnya, bahwa dengan sistem hidroponik ini akan menciptakan produksi pangan lokal yang berkelanjutan dan stabil di sepanjang tahunnya. Hal ini dapat menjadi solusi bagi para petani yang memiliki “senggang waktu” atau masa menunggu di antara waktu musim panen dan musim tanam agar tetap memiliki pasokan pangan yang kemudian meningkatkan ketahanan pangan dari komunitas lokal. Dengan pengontrolan yang mudah atas tanaman hidroponik juga menjadi nilai lebih yang didapat dari tanaman hidroponik karena hasilnya yang berkualitas, lebih segar, dan bebas dari residu pestisida.
- Peluang Usaha Baru
Dengan mengembangkan program hidroponik yang sudah dicanangkan oleh TIM II KKN UNDIP Desa Bulaksari, sama dengan membuka peluang usaha baru bagi pemuda dan masyarakat setempat. Karena dengan pengelolaan hidroponik membangun produktivitas produksi tanaman, distribusi hingga penjualan. Ditambah dalam konteks program ini ada tambahan pengefisienan media tanam yaitu mengisinya dengan budidaya lele sehingga akan ada perputaran ekonomi di dalamnya yang membuat pengurangan biaya pembelian makanan bagi komunitas lokal dan pengangguran masyarakat setempat.
- Pengolahan Limbah Anorganik menjadi Bernilai Guna Tinggi
Pengolahan limbah anorganik menjadi bernilai guna tinggi melalui hidroponik merupakan konsep inovatif yang menggabungkan pengelolaan limbah dengan pertanian modern. Rancangan ini berangkat dari permasalahan konsumsi galon Le Minerale yang dilakukan masyarakat Desa Bulaksari secara terus-menerus sehingga mengakibatkan penumpukan limbah anorganik. Di saat yang bersamaan Limbah galon Le Minerale ini tidak bisa diolah karena tidak memiliki nilai jual. Sehingga dengan munculnya inovasi penggunaan limbah galon Le Minerale menjadi media tanam hidroponik dapat menjadi solusi dalam membantu mengurangi limbah anorganik yang ada di wilayah Desa Bulaksari.
Oleh karena itu, hidroponik merupakan program dengan penawaran yang sangat baik bagi masyarakat Desa Bulaksari untuk mencapai tujuan pembangunan serta ketahanan pangan berkelanjutan.
Ketahanan Pangan Melalui Kacamata Antropologis
Ketahanan pangan merupakan kemampuan individu, kelompok, atau suatu wilayah untuk memiliki akses yang cukup terhadap pangan yang aman, bergizi, dan terjangkau secara berkelanjutan. Pasokan pangan yang cukup ini meliputi produksi lokal, import, dan cadangan pangan. Hal tersebut berfokus pada pencapaian gizi yang cukup dan seimbang bagi seluruh anggota keluarga. Tidak jauh berbeda dengan definisi menurut FAO (Food and Agriculture Organization), mereka mendefinisikan ketahanan pangan berdasarkan empat dimensi utama yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas pangan. Di dalamnya menekankan akan pentingnya keberlanjutan dalam produksi pangan dan perlunya kebijakan yang mendukung untuk memastikan ketahanan pangan global atau dalam konteks ini seluruh masyarakat desa.
Dalam sudut pandang antropologis, ketahanan pangan ini diamati melalui bagaimana struktur sosial, kebiasaan, tradisi, dan norma budaya mempengaruhi akses dan distribusi pangan di masyarakat ataupun sebaliknya artinya pemahaman ini meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, dan dimana lingkungan masyarakat tersebut hidup dan bertumbuh. Kearifan lokal dan praktik tradisional dalam mempertahankan ketahanan pangan juga ditekankan di dalamnya. Kearifan lokal yang masih terlihat di lingkungan pertanian Desa Bulaksari, Pekalongan salah satunya adalah adanya sistem tanam tumpangsari. Sistem ini merupakan sistem pertanian yang memadukan berbagai jenis tanaman dalam satu lahan untuk memaksimalkan penggunaan lahan dan mengurangi resiko gagal panen. Contoh yang terjadi pada lahan pertanian Desa Bulaksari adalah adanya penanaman kangkung dan padi di lahan yang sama.
Gambar 2. Sistem Pertanian Tumpangsari
Dengan adanya inovasi teknologi pertanian yang baru seperti hidroponik, antropologi memandang bagaimana nilai-nilai yang sudah mengakar dalam masyarakat dapat menerima dan beradaptasi terhadap implementasi program ini terlebih dalam aspek keberlanjutan pangan lokal. Dalam pengamatan penulis selama observasi terhadap penerimaan praktik hidroponik di Desa Bulaksari, nampaknya masyarakat Desa Bulaksari terbagi menjadi dua pandangan dengan sebagian yang masih merasa skeptis akan keberhasilan program ini dan sebagian lainnya yang terlihat antusias akan adanya inovasi teknologi pertanian yang muncul.
Praktik Pertanian Tradisional dan Hidroponik
Banyak perbedaan dalam sistem pertanian tradisional jika dibandingkan dengan inovasi teknologi pertanian modern seperti hidroponik. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya entah dalam segi teknik penanamannya, kebutuhan akan sumber daya, dampak terhadap lingkungan, hingga hasil produksinya. Adapun tabel perbandingan antara pertanian tradisional dengan hidroponik sebagai berikut:
Tabel 1. Perbandingan pertanian tradisional vs hidroponik
Secara keseluruhan inti dari perbandingan kedua sistem pertanian tersebut adalah apa yang menjadi media tanamnya yaitu tanah, dan segala hal yang mendukung tanah tersebut menjadi media yang berkualitas bagi tanaman untuk tumbuh. Adapun kelebihan yang dihasilkan jika menggunakan sistem pertanian tradisional adalah sangat mudah untuk diterapkan di daerah pedesaan karena kondisi geografis, cuaca, dan iklim yang mendukung untuk berbagai jenis tanaman dapat tumbuh subur. Kondisi lahan yang luas juga sangat memungkinkan bagi para pemilik lahan untuk memproduksi hasil taninya dalam skala yang besar dan dapat membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk masyarakat pedesaan dalam menentukan mata pencaharian mereka karena bisa memanfaatkan sumber daya alam yang sudah tersedia. Dibalik itu tentu ada resiko tersendiri yang mengikuti sistem ini, karena media penanaman menggunakan sumber daya alam yang tersedia, maka dalam prosesnya pun sangat bergantung pada kondisi tanah dan iklim yang sedang terjadi yang mengakibatkan hasil panen tidak bisa diprediksi keberhasilannya. Lahan yang luas juga diperlukan karena memerlukan komplemen-komplemen lainnya untuk mendukung kesuburan tanah seperti perlu diperhatikan irigasinya, lahan untuk menjemur (padi), dan lainnya. Penggunaan air yang tinggi juga menjadi fokus perhatian dalam menjalani sistem pertanian tradisional, selain itu karena penggunaan pestisida yang banyak sehingga ada potensi pula terhadap polusi lingkungan dan pencemaran tanah.
Hidroponik merupakan inovasi sistem teknologi pertanian yang digadang-gadang sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang timbul dari sistem pertanian tradisional. Meskipun begitu, hal ini tidak menjadikan sistem hidroponik tidak memiliki kekurangan. Namun, kekurangan yang dimaksud ini merujuk pada ketidaksesuaian penerapan hidroponik di daerah pedesaan karena di awal penerapan sistem ini memerlukan investasi yang tinggi serta dalam keberjalanannya pun cukup memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi karena ada kebutuhan akan energi (listrik) yang terus berjalan dan konsistensi dalam hal pemeliharaan. Untuk mencapai keberhasilan panen menggunakan sistem hidroponik juga memerlukan pengetahuan yang memadai akan teknis dan perawatannya, sedangkan masyarakat desa pada umumnya cenderung menginginkan suatu sistem yang mudah dan sederhana agar mendapatkan hasil yang instan. Keterbatasan akan jenis tanaman yang dapat ditanam dengan sistem hidroponik juga menjadi permasalahan karena pada akhirnya petani tidak bisa fleksibel dalam bercocok tanam ketika menggunakan sistem pertanian ini. Meskipun begitu, sistem hidroponik ini masih menjadi solusi alternatif bagi para petani yang ingin melakukan variasi sistem penanaman, terlebih bagi para petani yang memiliki “masa senggang”, karena sistem ini menawarkan produksi yang lebih cepat dan hasil panen yang lebih tinggi sehingga produktivitas para petani maupun masyarakat yang menerapkan sistem ini memiliki produktivitas yang lebih tinggi terkhusus dalam bidang pertanian. Dengan fleksibilitas media tanam nya yang menggunakan wadah seperti limbah galon Le Minerale serta air atau tidak menggunakan tanah menjadikan sistem ini dapat dilakukan di berbagai tempat, lahan sempit maupun luas, bahkan pada masyarakat perkotaan. penggunaan air dengan sistem resirkulasi juga dapat menekan biaya atau penggunaan air hingga 90% lebih sedikit. Nutrisi yang diberikan pada tanaman juga dapat menyebar secara merata dan terkontrol sehingga pemberian nutrisi sangat efisien karena sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Simpulan
Tulisan ini merupakan penjabaran bagaimana suatu inovasi teknologi pertanian, hidroponik yang dibawa dan dirancang oleh mahasiswa TIM II KKN Universitas Diponegoro 2024 dapat diterapkan pada komunitas lokal karang taruna Desa Bulaksari. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemberdayaan karang taruna agar dapat menjalankan program yang relevan dengan kondisi, permasalahan, dan latar belakang masyarakat Desa Bulaksari secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, hidroponik hadir sebagai solusi alternatif atas kompleksitas permasalahan di tengah masyarakat dengan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan juga menjaga ketahanan pangan anggota kelompok masyarakat. Penggunaan limbah galon Le Minerale juga dilatarbelakangi karena adanya keresahan dari masyarakat akibat penumpukan limbah anorganik tersebut. Limbah galon Le Minerale yang sulit untuk didaur ulang menyebabkan ia tidak memiliki nilai serta daya jual. Diharapkan dengan hadirnya tulisan ini dapat memberikan pandangan serta pemahaman baru terhadap penerapan inovasi teknologi pertanian terkhusus hidroponik di wilayah pedesaan.
Referensi
Subroto, P. (1985). Sistem pertanian tradisional pada masyarakat Jawa tinjauan secara arkeologis dan etnografis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Arianti, I. 2024. Optimalisasi Lahan Sempit melalui Budidaya Tanaman secara Hidroponik (Tanaman Sawi, Kangkung, Tomat dan Cabai) oleh Mahasiswa KKN-PPL Terpadu XXI Universitas Negeri Makassar Domisili Kabupaten Toraja Utara. Jurnal Lepa-Lepa Open. Volume 4 Nomor 3, 2024.
SYAKIRA, A. F. (2021). SOSIOANTROPOLOGI GIZI DAN KESEHATAN.Nurti, Y. (2017). Kajian makanan dalam perspektif antropologi. Jurnal Antropologi: isu-isu sosial budaya, 19(1), 1-10.